Rabu, 29 Oktober 2014

Tentang dia

Entah dari mana harus ku mulai cerita ini. Cerita tentang kasih, tentang sayang, tentang rindu, tentang cinta, tentang persaudaraan, tentang kebersamaan dan tentang kesendirian. Tapi yakinlah yang pasti ini cerita tentang pertemuan dan tentang perpisahan.
Rasa rindu yang tak pernah aku ceritakan pada siapapun bahkan pada dia yang kurindukan.  Dia yang saat kepergiannya bahkan tak mampu membuat air mataku menetes. Dia yang dengan gagahnya memintaku untuk tidak lemah saat aku akan bertemu dengannya untuk pertama kalinya sejak penyakit mematikan itu menyerangnya. 
Jika akhirnya aku memilih menuangkan semua kerinduan yang membuncah didadaku saat ini itu karena tulisan yang dia sematkan disalah satu folder dalam file netbook yang aku gunakan saat ini untuk menumpahkan semuanya. Isi kepalanya yang ditulis dengan sangat sederhana. Meski ada bagian yang diberi “sayap” hingga terkesan sebagai pujangga yang bersahaja.
Entah apa yang menggelitik ku hingga semua folder yang bertuliskan namanya aku buka. Padahal itu adalah tulisan yang dia buat dua tahun lalu. Iya juni 2012. Selama itu aku bahkan tidak menyadari ada “isi kepala” nya yang ditinggalkan di sini.
Lima bulan sudah berlalu sejak kepergiannya. Rindu ini bukan makin berkurang tapi semakin bertambah. Apa mungkin aku terlambat merasakan kehilangan ? kesedihan ini bukan memupus tapi menebal. Apa aku yang terlambat menangisi kepergiannya ?
Atau karena kebersamaanku dengannya terlalu singkat pada saat-saat terakhirnya ? mungkin juga karena aku tidak sempat bercengkrama dengannya tentang apa yang dia rasakan dan apa yang dia inginkan. Penyesalan memang selalu datang terlambat.  Tak ingin berandai-andai toh waktu tak lagi bisa ku putar mundur.
Lima hari yang terasa begitu singkat saat dia masih di sini, terbaring melawan kanker nasofaring yang dideritanya tanpa mengeluh. Entah sudah kebal dengan rasa sakit yang menderanya, ataukah karena sudah saatnya dia pasrah dan berserah. Berserah pada Tuhannya yang memberikan ujian terberat ini baginya dan bagi kami yang mencintainya.  Iya, hanya lima hari. Tanpa tanda, tanpa firasat.
Aku ingat percakapan terakhir dengannya, “kakak, aku sudah gak kuat lagi” sambil menggenggam tangannya erat, aku menjawab, “kamu kuat sayang, kamu masih sanggup. Ingat mimpi kita, ingat cita-cita kita. kamu dan aku akan berjuang sebagai perantau yang akan kembali pulang setelah kita berhasil”
Aku ingat hari itu, kamis sore tanggal 22 Mei 2014. Dia membalas genggamanku dengan sisa tenaga yang ada di celah jari jemarinya yang bergetar. “berjanji padaku kamu akan kuat sayang. Jangan menyerah sekarang, kematian adalah rahasia  Allah. Jangan memberi vonis pada dirimu. Maut tak usah dicari, maut tak usah ditunggu, karena datangnya adalah kepastian bagi mereka yang bernyawa. Besok kita ke rumah sakit. Kakak sudah dapat referensi rumah sakit terbaik di sini”. Dan dia hanya memberi sebuah isyarat dengan anggukan kepalanya yang lemah. Tapi aku sadar, tatapan matanya tidak lagi menyimpan pendar harapan. Berbeda dengan caranya dia berbalas BBM denganku saat kami dipisahkan jarak.  Tapi ku yakinkan diriku, dia adalah kesayangan kami yang selalu optimis dengan apapun yang dia jalani. Pun kali ini aku harus memupuk asa dalam dirinya dan dalam diriku sendiri.

Saat dia harus pergi !!!

Jum’at 23 Mei 2014 lepas subuh.
Hari yang tak akan pernah ku lupakan sepanjang sisa hidupku
“ati,,, yat,,,” suara mama membangunkan ku dari tidur ku yang sangat lelap tanpa gelisah. Tidak seperti biasanya. Aku tak pernah tidup selelap itu sejak mereka tiba di sini. Bukan karena terganggu atau tak nyaman, tapi lebih pada khawatir dengan kondisinya.
“iya mah…” sahutku pelan sambil mengucek mataku yang terasa gatal.
“cepat ke sini yat,,, adek mu,,,,adek mu…” suara mama terdengar sangat panik. Bergegas aku dekati mama yang dalam posisi setengah memeluknya, “kenapa ma, kenapa dia??”  suaraku tak kalah panik.
Cepat kudekati tubuhnya, meraih tangannya “dek, sayang “ sapaku tapi tak dijawabnya. Tanpa berfikir panjang aku minta papah untuk membantu mamah mengganti pakaiannya “pah ganti bajunya, kita bawa dia ke rumah sakit sekarang. Sudah gak bisa ditunda”  sambil melihat mamah yang mulai merintih memanggil-manggil namanya, “an,,,andiiiiii….ini mamah sayang. Yang kuat an, kita di kampung orang. Bertahan sayang.” Sambil membisikan kalimat tauhid ditelinganya.
“mah sudah jangan nangis, sekarang bantu papah ganti pakaiannya. Aku kedepan ambil taksi. Jangan ditunda” aku minta mama untuk bergegas, sementara aku hanya memakai jaket dan jilbab instan seadanya sambil berlari menuju jalan raya. Subuh itu dalam hati ku ada seuntai doa yang aku ucapkan untuk Sang Maha Hidup. “jangan ambil dia Tuhan” entah apa yang aku pikirkan hingga doa itu yang selalu terucap sejak aku melangkahkan kaki keluar dari kontrakan kami yang semi permanen. Jalan yang aku lalui terasa sangat panjang. Rasanya sudah lelah aku berlari di gang sempit ini tapi tidak jua sampai pada tujuanku. Sebelum sempat aku menyetop taksi yang lumayan ramai lalu lalang di jalan raya, aku putuskan untuk berlari kembali ke rumah. Berlari lebih cepat dari sebelumnya. Tetapi tetap saja terasa panjang jalan ini. Rasanya tak pernah sampai aku pada tujuanku.  Namun kali ini doaku berbeda, “Ya Allah jika ini akhirku bersamanya, biarkan aku melihatnya sebelum maut menjemputnya”
Pasrah ku menghilangkan prasangka akan jarak yang kutempuh. Jarak yang sama seperti hari-hari kemarin saat aku susuri gang ini setiap kali aku menuju kantor yang tak jauh dari kontrakan ini.

Dan doaku dikabulkan-Nya. Dia masih bersama kami. Mamah masih terlihat panik dan lemas. Bahkan tak sanggup membantu papah untuk mengganti baju anak lelaki semata wayangnya. Dan aku yang harus turun tangan untuk itu. tak berapa lama kami selesai  mengganti baju dan membungkus badannya dengan jaket yang hangat. “siapa yang akan menggendongnya turun yat?”  suara papah terdengar bingung. Bukan papah tidak sanggup menggendong puteranya, tapi kondisi kontrakan kami yang memang menyulitkan papah untuk melakukan itu. akhirnya aku putuskan aku yang akan menggendongnya. Dalam hati aku berbisik “tak akan serumit ini jika suami ku ada di sini saat ini. Harusnya aku minta dia untuk izin dari tempat kerjanya”
Tapi yang terjadi adalah apa yang memang harus terjadi. Saat papah berusaha menegakan tubuhnya, dia menolak. Entahlah apa itu sebuah penolakan atau dia telah kehabisan kekuatannya. Peristiwa itu terjadi sangat cepat. Aku hanya ingat saat itu mama menangis sambil terus membimbingnya bertauhid. Sejenak ku panggil-panggil namanya, lalu kulihat matanya berkedip sebelum maut mendekapnya. Kepergiannya dengan tenang membuat kami terpana sejenak. Seperti dia masih bersama kami. “dia sudah gak ada” suara papah seperti tertahan menyadarkan aku dan mamah. Mamah meraung tanpa suara tapi aku yakin gocangan yang dia rasakan lebih hebat dari letusan gunung api sekalipun.

Dia kesayangan kami. Satu-satunya lelaki keturunan orang tuaku. Tapi tak pernah merasa menjadi satu-satunya. Dia kesayangan kami yang begitu mencintai kami. Dia anak yang telah begitu banyak memberikan kebanggaan bagi mamah dan papah. Dan kebanggan bagi kami saudari-saudarinya.

Kini setelah lima bulan kepergiannya air mataku menetes tiap aku mengenangnya. Air mata kesedihan karena kehilangan yang selama ini aku tahan sekarang tak lagi terbendung. Aku tidak sedang menyesali takdir. Tapi aku hanya ingin mengingatkan diriku akan dia adik lelaki kesayanganku, kesayangan kami.

Ada yang datang lalu menetap dalam hidup kita
Ada yang datang hanya mampir sebentar dalam hidup kita
Ada juga yang datang hanya sekedar lewat dalam hidup kita

Dia yang datang dan hanya sebentar menjadi bagian terpenting dalam hidup kami. Tapi dalam hati kami, dia akan selamanya hidup. Segala yang dia tinggalkan adalah yang terindah untuk dikenang.

Ya Allah, berikan dia tempat yang baik di sisi-Mu, dekap dia dengan kasih-Mu

Ya Allah, segalanya berasal dari-Mu dan pasti akan kembali pada-Mu. 

2 komentar: