Entah dari mana harus ku mulai
cerita ini. Cerita tentang kasih, tentang sayang, tentang rindu, tentang cinta, tentang persaudaraan, tentang kebersamaan dan tentang kesendirian. Tapi yakinlah
yang pasti ini cerita tentang pertemuan dan tentang perpisahan.
Rasa rindu yang tak pernah aku
ceritakan pada siapapun bahkan pada dia yang kurindukan. Dia yang saat kepergiannya bahkan tak mampu
membuat air mataku menetes. Dia yang dengan gagahnya memintaku untuk tidak
lemah saat aku akan bertemu dengannya untuk pertama kalinya sejak
penyakit mematikan itu menyerangnya.
Jika akhirnya aku memilih
menuangkan semua kerinduan yang membuncah didadaku saat ini itu karena tulisan
yang dia sematkan disalah satu folder dalam file netbook yang aku gunakan saat
ini untuk menumpahkan semuanya. Isi kepalanya yang ditulis dengan sangat
sederhana. Meski ada bagian yang diberi “sayap” hingga terkesan sebagai
pujangga yang bersahaja.
Entah apa yang menggelitik ku
hingga semua folder yang bertuliskan namanya aku buka. Padahal itu adalah
tulisan yang dia buat dua tahun lalu. Iya juni 2012. Selama itu aku bahkan
tidak menyadari ada “isi kepala” nya yang ditinggalkan di sini.
Lima bulan sudah berlalu sejak
kepergiannya. Rindu ini bukan makin berkurang tapi semakin bertambah. Apa mungkin
aku terlambat merasakan kehilangan ? kesedihan ini bukan memupus tapi menebal.
Apa aku yang terlambat menangisi kepergiannya ?
Atau karena kebersamaanku
dengannya terlalu singkat pada saat-saat terakhirnya ? mungkin juga karena aku
tidak sempat bercengkrama dengannya tentang apa yang dia rasakan dan apa yang
dia inginkan. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Tak ingin berandai-andai toh waktu tak lagi
bisa ku putar mundur.
Lima hari yang terasa begitu
singkat saat dia masih di sini, terbaring melawan kanker nasofaring yang
dideritanya tanpa mengeluh. Entah sudah kebal dengan rasa sakit yang
menderanya, ataukah karena sudah saatnya dia pasrah dan berserah. Berserah pada
Tuhannya yang memberikan ujian terberat ini baginya dan bagi kami yang mencintainya. Iya, hanya lima hari. Tanpa tanda, tanpa
firasat.
Aku ingat percakapan terakhir
dengannya, “kakak, aku sudah gak kuat lagi” sambil menggenggam tangannya erat,
aku menjawab, “kamu kuat sayang, kamu masih sanggup. Ingat mimpi kita, ingat
cita-cita kita. kamu dan aku akan berjuang sebagai perantau yang akan kembali
pulang setelah kita berhasil”
Aku ingat hari itu, kamis sore
tanggal 22 Mei 2014. Dia membalas genggamanku dengan sisa tenaga yang ada di
celah jari jemarinya yang bergetar. “berjanji padaku kamu akan kuat sayang.
Jangan menyerah sekarang, kematian adalah rahasia Allah. Jangan memberi vonis pada dirimu. Maut
tak usah dicari, maut tak usah ditunggu, karena datangnya adalah kepastian bagi
mereka yang bernyawa. Besok kita ke rumah sakit. Kakak sudah dapat referensi
rumah sakit terbaik di sini”. Dan dia hanya memberi sebuah isyarat dengan
anggukan kepalanya yang lemah. Tapi aku sadar, tatapan matanya tidak lagi
menyimpan pendar harapan. Berbeda dengan caranya dia berbalas BBM denganku saat
kami dipisahkan jarak. Tapi ku yakinkan
diriku, dia adalah kesayangan kami yang selalu optimis dengan apapun yang dia
jalani. Pun kali ini aku harus memupuk asa dalam dirinya dan dalam diriku
sendiri.
Saat dia harus pergi !!!
Jum’at 23 Mei 2014 lepas subuh.
Hari yang tak akan pernah ku lupakan sepanjang sisa hidupku
“ati,,, yat,,,” suara mama membangunkan ku dari tidur ku yang sangat
lelap tanpa gelisah. Tidak seperti biasanya. Aku tak pernah tidup selelap itu
sejak mereka tiba di sini. Bukan karena terganggu atau tak nyaman, tapi lebih
pada khawatir dengan kondisinya.
“iya mah…” sahutku pelan sambil mengucek mataku yang terasa gatal.
“cepat ke sini yat,,, adek mu,,,,adek mu…” suara mama terdengar sangat
panik. Bergegas aku dekati mama yang dalam posisi setengah memeluknya, “kenapa
ma, kenapa dia??” suaraku tak kalah
panik.
Cepat kudekati tubuhnya, meraih tangannya “dek, sayang “ sapaku tapi
tak dijawabnya. Tanpa berfikir panjang aku minta papah untuk membantu mamah
mengganti pakaiannya “pah ganti bajunya, kita bawa dia ke rumah sakit sekarang.
Sudah gak bisa ditunda” sambil melihat
mamah yang mulai merintih memanggil-manggil namanya, “an,,,andiiiiii….ini mamah
sayang. Yang kuat an, kita di kampung orang. Bertahan sayang.” Sambil
membisikan kalimat tauhid ditelinganya.
“mah sudah jangan nangis, sekarang bantu papah ganti pakaiannya. Aku
kedepan ambil taksi. Jangan ditunda” aku minta mama untuk bergegas, sementara
aku hanya memakai jaket dan jilbab instan seadanya sambil berlari menuju jalan
raya. Subuh itu dalam hati ku ada seuntai doa yang aku ucapkan untuk Sang Maha
Hidup. “jangan ambil dia Tuhan” entah apa yang aku pikirkan hingga doa itu yang
selalu terucap sejak aku melangkahkan kaki keluar dari kontrakan kami yang semi
permanen. Jalan yang aku lalui terasa sangat panjang. Rasanya sudah lelah aku
berlari di gang sempit ini tapi tidak jua sampai pada tujuanku. Sebelum sempat
aku menyetop taksi yang lumayan ramai lalu lalang di jalan raya, aku putuskan
untuk berlari kembali ke rumah. Berlari lebih cepat dari sebelumnya. Tetapi
tetap saja terasa panjang jalan ini. Rasanya tak pernah sampai aku pada
tujuanku. Namun kali ini doaku berbeda,
“Ya Allah jika ini akhirku bersamanya, biarkan aku melihatnya sebelum maut
menjemputnya”
Pasrah ku menghilangkan prasangka akan jarak yang kutempuh. Jarak yang
sama seperti hari-hari kemarin saat aku susuri gang ini setiap kali aku menuju
kantor yang tak jauh dari kontrakan ini.
Dan doaku dikabulkan-Nya. Dia masih bersama kami. Mamah masih terlihat
panik dan lemas. Bahkan tak sanggup membantu papah untuk mengganti baju anak
lelaki semata wayangnya. Dan aku yang harus turun tangan untuk itu. tak berapa
lama kami selesai mengganti baju dan
membungkus badannya dengan jaket yang hangat. “siapa yang akan menggendongnya
turun yat?” suara papah terdengar
bingung. Bukan papah tidak sanggup menggendong puteranya, tapi kondisi
kontrakan kami yang memang menyulitkan papah untuk melakukan itu. akhirnya aku
putuskan aku yang akan menggendongnya. Dalam hati aku berbisik “tak akan serumit
ini jika suami ku ada di sini saat ini. Harusnya aku minta dia untuk izin dari
tempat kerjanya”
Tapi yang terjadi adalah apa yang memang harus terjadi. Saat papah
berusaha menegakan tubuhnya, dia menolak. Entahlah apa itu sebuah penolakan
atau dia telah kehabisan kekuatannya. Peristiwa itu terjadi sangat cepat. Aku
hanya ingat saat itu mama menangis sambil terus membimbingnya bertauhid.
Sejenak ku panggil-panggil namanya, lalu kulihat matanya berkedip sebelum maut
mendekapnya. Kepergiannya dengan tenang membuat kami terpana sejenak. Seperti
dia masih bersama kami. “dia sudah gak ada” suara papah seperti tertahan
menyadarkan aku dan mamah. Mamah meraung tanpa suara tapi aku yakin gocangan
yang dia rasakan lebih hebat dari letusan gunung api sekalipun.
Dia kesayangan kami. Satu-satunya lelaki keturunan orang tuaku. Tapi
tak pernah merasa menjadi satu-satunya. Dia kesayangan kami yang begitu
mencintai kami. Dia anak yang telah begitu banyak memberikan kebanggaan bagi
mamah dan papah. Dan kebanggan bagi kami saudari-saudarinya.
Kini setelah lima bulan kepergiannya air mataku menetes tiap aku
mengenangnya. Air mata kesedihan karena kehilangan yang selama ini aku tahan
sekarang tak lagi terbendung. Aku tidak sedang menyesali takdir. Tapi aku hanya
ingin mengingatkan diriku akan dia adik lelaki kesayanganku, kesayangan kami.
Ada yang datang lalu menetap dalam hidup kita
Ada yang datang hanya mampir sebentar dalam hidup kita
Ada juga yang datang hanya sekedar lewat dalam hidup kita
Dia yang datang dan hanya sebentar menjadi bagian terpenting dalam
hidup kami. Tapi dalam hati kami, dia akan selamanya hidup. Segala yang dia
tinggalkan adalah yang terindah untuk dikenang.
Ya Allah, berikan dia tempat yang baik di sisi-Mu, dekap dia dengan
kasih-Mu
Ya Allah, segalanya berasal dari-Mu dan pasti akan kembali pada-Mu.